Prinsip Reinventing Government Ke 5, Pemerintahan yang Berorientasi Hasil (Result Oriented Government)

MAKALAH TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Oleh: M Arafat Imam G (*)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Administrasi Negara sebagai sebuah perangkat untuk menjalankan pemerintahan dan mencapai tujuan di setiap negara dari masa ke masa cendrung berkembang mengikuti zaman. Jika pada awalnya Old Public Management melalui media birokrasi dirasa cukup untuk menjadi jawaban untuk mencapai tujuan bernegara, kini pandangan tersebut berubah pasca munculnya  paradigma baru yaitu New Public Manajerial (NPM). Masyarakat yang semula hanya menjadi objek, kini ikut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Peran masyarakat yang semakin besar, membuat pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan kinerjanya dan lebih berorientasi pada rasa kepuasaan masyarakat. Perkembangan administrasi negara/publik tersebut semakin berkembang pada sekitar tahun 1980 dan 1990an, dimana muncul pemikiran dan konsep kewirausahaan dari manajemen/administrasi pemerintah, yang dibukukan oleh Osborn dan Gaebler melalui “Reinventing Government”. Istilah Reinventing Government bermakna lembaga sektor pemerintah yang berkebiasaan entrepreneural, dengan memanfaatkan Sumber Daya yang ada namun menggunakannya dengan cara yang baru guna mencapai Efisiensi dan Efektifitas. Secara garis besar, menurut Osborn dan Gaebler, mengelola sektor pemerintahan tidak jauh berbeda dengan mengelola perusahaan. Jika yang menjadi tujuan dari sektor swasta adalah kelangsungan hidup perusahaan dan kemampuan berlaba yang lestari, sebenarnya sektor publik tidak jauh berbeda. Tujuan sektor publik adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kesejahteraan itu tercapai apabila pelaksanaan program pembangunan berdampak positif bagi masyarakat.

Salah satu unsur utama dalam mewirausahakan pemerintahan adalah dengan mengubah paradigma manajemen pemerintahan dari yang semula berorientasi input dan proses, menjadi berorientasi pada hasil dan manfaat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu key faktor yang harus ditingkatkan adalah kinerja dari administrator publik dan juga manajemen pemerintahan itu sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas pemikiran Osborn dan Gaebler dalam contoh-contoh empiris di Amerika Serikat pada periode 1980 dan 1990an mengenai prinsip pemerintahan yang berorientasi pada hasil dan pengukuran kinerja.

B. RUMUSAN MASALAH

Makalah ini akan membahas perihal bagaimana prinsip pemerintahan yang berorientasi pada hasil dan pengukuran kinerja manajemen pemerintah menurut pandangan Osborn dan Gaebler dalam konsep “reinventing government”?

BAB II PEMBAHASAN

A. PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BERORIENTASI HASIL

Pemerintah yang berorientasi pada hasil dapat diartikan bahwa pemerintah selalu memfokuskan perhatiannya kepada proses membiayai hasil kegiatannya (outcomes) dan bukan kepada masukannya (inputs) yang diperoleh atau pada kepatuhan terhadap prosedur yang harus dijalankan. Dengan kata lain, kegiatan pemerintah lebih terfokus pada pencapaian kinerja yang lebih baik. Dalam hal ini, prosedur kerja yang berbelit-belit harus dihilangkan.

Selanjutnya pada bagian ini akan diringkaskan mengenai pokok-pokok gagasan Osborne dan Gaebler mengenai pemerintahan yang berorientasi hasil, yang dimulai dengan pengertian pemerintah yang berorientasi hasil itu sendiri.

B. MENGUKUR KINERJA AKTIVITAS PUBLIK

Osborne dan Gaebler mengawali prinsip ini dengan sebuah pertanyaan, bagaimana cara mengukur kinerja aktivitas publik? Dalam hal ini, para pemimpin wirausaha mengembangkan cara-cara baru untuk mengukur dan memberi penghargaan pada hasil, dengan studi kasus dan empiris yang terjadi di dalam lingkup Administrasi dan Manajemen Publik di Amerika Serikat (AS), antara lain sebagai berikut:

Pertama, Undang-Undang Kemitraan Pelatihan Kerja Federal AS menciptakan suatu sistem yang berjalan hampir pada seluruh kontrak kinerja, yaitu penjual jasa pelatihan dibayar sesuai dengan jumlah orang yang mereka tempatkan dalam pekerjaan, bukan jumlah orang mendaftar dalam pelatihan.

Kedua, sedikitnya sembilan negara bagian di AS mengkaitkan pendanaan pendidikan kejuruan dengan tingkat penempatan kerja. Di negara bagian Arkansas dan Florida, misalnya, sebuah program untuk orang dewasa yang berulang kali gagal menempatkan 70 persen lulusannya dalam pekerjaan kehilangan dana dari negara bagian.

Ketiga, di Otorita Perumahan Louisville, jika hasil pengumpulan uang sewa di bawah 97 persen, atau waktu perputaran untuk apartemen yang kosong melebihi 14 hari, atau kondisi tempat merosot di bawah standar, para manajernya diberi peringatan. Jika masalahnya berlangsung terus, mereka diganti.

Keempat, di Cook Country, Illinois, negara bagian terbesar kedua di negara AS, pengadilan mencoba menggunakan kartu-kartu laporan bagi para hakim, yang berdasarkan pada penilaian dari para juri, saksi, dan pengacara. Beberapa negara bagian menggunakan sistem yang sama.

Kelima, enam negara bagian di AS menguji standar kinerja untuk seluruh pengadilan, yang dikembangkan oleh National Center for State Courts dan Departemen Kehakiman AS. Mereka menggunakan survai pelanggan, kelompok fokus, analisis arsip kasus, dan metode lain untuk mengukur hal-hal seperti seberapa mudah pengadilan dapat didatangi, sejauh mana keadilan dapat dihasilkan, seberapa netral keputusan pengadilan, dan seberapa efektif pengadilan menjalankan tatanan mereka.

Keenam, pemerintah melakukan perubahan dalam cara mereka membiayai pembangunan jalan raya. Jika di masa lampau, mereka menentukan input yang mereka harapkan dari para kontraktor: berapa inci bahan A, dilapisi berapa inci bahan B. Namun pada masa seekarang, mereka terus meningkatkan jumlah tahun masa ketahanan jalan raya itu dan meminta tanggung jawab kontraktor bila gagal. Sebagian menawarkan bonus prestasi bagi para kontraktor yang lebih cepat dari batas waktu; sebuah perusahaan di Minnesota mendapatkan ekstra $1 juta karena menyelesaikan sebagian dari Interstate 94  setahun lebih cepat.

Ketujuh, beberapa negara bagian mendatangani persetujuan kinerja dengan prasarana yang mengoperasikan pembangkit tenaga nuklir. Boston Edison membayar denda jika pembangkit Pilgrim-nya beroperasi dengan kapasitas penuh kutrang dari 60 persen pada tahun bersangkutan, tetapi memperoleh ekstra $15 dolar jika beroperasi dengan kecepatan penuh lebih dari 76 persen pada tahun itu.

Untuk melihat kekuatan penuh dari pengukuran kinerja, seseorang cukup mengunjungi Sunnyvale, California, sebuah kota dengan penduduk 120.000 jiwa di jantung Lembah Silikon. Sunnyvale kemudian menjadi tolak ukur dalam hal revolusi kinerja, sebab kota ini mempunyai suatu kultur yang mendalam mengenai teknologi informasi. Di tempat lain di bumi ini, hanya sedikit yang akan mau menerima penggunaan ukuran kinerja. Tetapi sementara Sunnyvale merintis jalan, kota-kota dan negara-negara bagian lain sudah mulai mengikuti. Para manajer Sunnyvale mengukur kuantitas, kualitas, dan biaya dari setiap jasa yang mereka berikan. Karena dewan kota mempunyai informasi ini, maka ia tidak lagi mengusulkan mata anggaran: dewan memberikan usulan pada tingkat jasa. Dewan tidak mengatakan kepada Departemen Pekerjaan Umum: “kami ingin menghabiskan $1 juta untuk membangun jalan raya A, $500.000 untuk perbaikan jalan B, C, dan D, dan $250.000 untuk menutup lobang-lobang jalan di seluruh kota”. Dewan malah menentukan hasil yang diinginkannya.

Sunnyvale benar-benar menggunakan ribuan ukuran. Pada setiap area program, kota tersebut secara jelas menyampaikan seperangkat “sasaran“ (objectives), dan seperangkat “indikator kinerja”. Tujuan (goal) sudah cukup jelas “memberikan lingkungan yang aman dan terjamin bagi orang dan kekayaan dalam masyarakat”; mengendalikan jumlah dan hebatnya kebakaran serta kejadian-kejadian karena bahan-bahan berbahaya dan memberikan informasi kepada kota tersebut mengenai kualitas hidup saat ini. Misalnya:
  1. Jumlah hari di mana ozon melebihi standar;
  2. Jumlah kecelakaan lalu lintas perjuta mil kendaraan;
  3. Jumlah orang yang menerima bantuan untuk anak-anak tanggungan; dan
  4. Jumlah orang pada atau di bawah garis kemiskinan.
Indikator kinerja memberikan ukuran mutu pelayanan yang spesifik, yang mengungkapkan seberapa berhasil masing-masing unit dalam memenuhi sasaranya. Indikator-indikator itu meliputi angka-angka, seperti:
  1. Persentase pohon yang membutuhkan peremajaan yang diganti dalam dua bulan;
  2. Persentase peserta pelatihan kerja yang memperoleh pekerjaan, gaji rata-rata mereka pada saat penempatan, dan tingkat kepuasaan dari majikan mereka;
  3. Persentase peserta dalam program rekreasi yang memberikan peringkat “baik” atau diatasnya terhadap program tersebut; dan
  4. Jumlah keluhan terhadap berbagai fasilitas rekreasi.
Organisasi-organisasi yang mengukur hasil kerja mereka, meskipun mereka tidak menghubungkan pembiayaan atau imbalan dengan hasilnya, menyadari bahwa informasi mengubah mereka. Dalam hal ini, yang harus dilakukan adalah mengukur sesuatu sehingga orang akan memberikan respon.

Tindakan yang sederhana untuk menentukan ukuran, dapat memberikan penerangan kepada banyak organisasi. Biasanya, lembaga pemerintah tidak memiliki tujuan yang jelas dan realistis, atau bahkan tanpa disadari sebenarnya organisasi tersebut sedang menuju ke tujuan yang salah. Ketika mereka harus menentukan hasil yang diinginkan dan tolak ukur yang tepat untuk mengukur hasil-hasil tersebut, kebingungan ini terpaksa dibuka. Orang mulai mengajukan pertanyaan yang benar, mendefinisikan kembali masalah-masalah yang mereka coba pecahkan, dan sekali lagi mendiagnosis masalah itu. “Ketika proses pengukuran dimulai, kata Stan Spanbauer, presiden Fox Valley Technical College di Wisconsin, orang segera mulai memikirkan tujuan organisasi”.

Untuk menegakkan prinsip pemerintah yang berorientasi hasil ini, Osborne dan Gaebler mengajukan beberapa pedoman yang perlu diterapkan, yaitu:
  1. Jika Anda tidak mengukur hasil, Anda tidak bisa mengatakan keberhasilan dari kegagalan;
  2. Jika Anda tidak dapat melihat keberhasilan, Anda tidak bisa menghargai itu;
  3. Jika Anda tidak bisa menghargai keberhasilan, Anda mungkin gagal bermanfaat;
  4. Jika Anda tidak dapat melihat keberhasilan, Anda bisa belajar dari itu;
  5. Jika Anda tidak bisa mengenali kegagalan, Anda tidak dapat memperbaikinya; dan
  6. Jika Anda dapat menunjukkan hasil, Anda dapat memenangkan dukungan publik.
Banyak orang dalam pemerintahan Amerika menolak gagasan pengukuran kinerja karena mereka telah melihat pengukuran dilakukan secara buruk. Ketika UU Kemitraan Pelatihan Kerja disetujui tahun 1982, misalnya, UU itu mengamanatkan kontrak berdasarkan kinerja kepada para penyelenggara pelatihan. Tetapi banyak dari kontrak yang orisinil mendorong para penyelenggara untuk melatih mereka yang paling siap kerja, karena mereka memberi imbalan kepada para penyelenggara berdasarkan jumlah peserta pelatihan yang mereka tempatkan. Hal ini mendorong penyelenggara untuk mendahulukan yang paling mudah untuk dilayani, dan menimbulkan kritik yang tajam.

Pengukuran kinerja dalam pendidikan telah dikritik karena alasan-alasan lain-terutama karena mengandalkan pada ujian-ujian yang sudah baku, yang tidak perlu memikirkan apapun kecuali hafalan. Pola ini, penerapan ukuran kinerja, diikuti dengan protes dan desakan untuk memperbaiki ukuran tersebut, dan diikuti denganpengembangan ukuran yang lebih canggih, adalah umum di manapun kinerja diukur.

Strategi yang paling umum adalah upah kinerja: sejenis sistem penilaian jasa atau bonus bagi perorangan dan atau kelompok yang berprestasi tinggi. Phoenix, Sunnyvale, Visalia, dan banyak lagi organisasi lain melakukan praktek ini.

Pendekatan tradisional dikenal dengan istilah Management by Objectives (MBO). Meskipun pendekatan ini mencakup berbagai rencana spesifik, namun istilah tersebut biasanya menggambarkan sebuah sistem di mana para manajer duduk bersama para atasan mereka setiap tahun dan menegosiasikan sebuah daftar sasaran. Seorang Manajer yang mencapai atau melampaui sasarannya berhak mendapatkan bonus atau kenaikan nilai jasa dalam gajinya.

Para manajer di bawah sistem MBO biasa, juga cenderung untuk menetapkan sasaran yang rendah, sehinnga mereka yakin dapat memenuhinya. Manajer-manajer lainnya memenuhi sasaran-sasaran artifisial mereka dengan mengorbankan sasaran organisasi yang lebih fundamental: mutu pelayanan.

Salah satu pendekatan yang digunakan oleh semakin banyak pemerintahan adalah Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Falsafah manajemen yang terutama dikembangkan oleh W. Edwards Deming. Deming berpendapat bahwa ketika kita mempelajari kinerja (atau “mutu“, istilah yang ia gunakan) yang buruk, kita tidak perlu mengetahui penyebabnya. Penyebabnya mungkin saja faktor-faktor di luar kekuasaan pekerja dan manajer seperti latar belakang keluarga siswa. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang guru Rochester, ketika menolak sebuah kontrak yang mengusulkan pembayaran jasa, “Saya memberikan upaya yang sama untuk setiap kelas, tetapi hasilnya tidak selalu cocok”.

Management berdasarkan Hasil dan MMT (manajemen mutu terpadu) keduanya merupakan sarana yang efektif untuk memaksa organisasi bertindak menurut informasi kinerja yang mereka terima.Tetapi dalam pemerintahan, pendongkrak yang paling penting, sistem yang paling kuat mendorong perilaku, adalah anggaran. Bagaimanapun juga, kebanyakan manajer bekerja dalam pemerintahan bukan untuk memperkaya diri melainkan untuk memiliki suatu dampak positif pada masyarakat Contoh trend serupa terlihat jelas di negara-negara lain.

Pada bulan November 1989 diselenggarakan konferensi 14 negara mengenai penganggaran pertahanan. Keempat belas negara sepakat bahwa “sebuah sistem manajemen sumber daya pertahanan modern harus mencakup: pengetahuan tentang biaya penuh, anggaran gabungan (yaitu non-mata-anggaran); desentralisasi kontrol atas uang dan personalia, baik militer maupun sipil; kebebasan dari beban peraturan yang tidak perlu (yang dipaksakan secara internal maupun eksternal); dan pertanggung jawaban atas hasil misi.”

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Menunjuk pada pemerintahan yang result-oriented dengan mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketetapan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan, kepada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran.

Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru, semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Osborne dan Gaebler, Reinventing Government, How The Entrepreneurial Spirirt is Transforming The Public Sector, 
Rosenbloom, David H.  dan Robert S. Kravchuk, Public Administration, Sixth Edition, McGraw-Hill International Edition 

WEBSITE:
Reinventing Government, Ivy Silvia Irani dan Tri Aswanto, diunduh di http://www.itjen.kkp.go.id/artikel/39-ap/67-reinvent.html, pada 20 April 2016.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/public%20administration diunduh pada 20 April 2016.

***

(*) Saat makalah ini ditulis pada bulan Mei 2016, penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis 4 buku, 1 novel thriller dan mahasiswa magister manajemen keuangan negara pada STIA-LAN Jakarta.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
“Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa”
Artikel ini merupakan publikasi tugas kuliah kelompok. Kumpulan tugas kuliah penulis telah disatukan dalam bentuk e-Book dan dapat diperoleh di Google Play Book.
Prinsip Reinventing Government Ke 5, Pemerintahan yang Berorientasi Hasil (Result Oriented Government) Prinsip Reinventing Government Ke 5, Pemerintahan yang Berorientasi Hasil (Result Oriented Government) Reviewed by Santana Primaraya on 9:18:00 PM Rating: 5

1 comment:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    ReplyDelete

Powered by Blogger.