Kritik Para Ahli Terhadap Konsep Birokrasi Max Weber

MAKALAH TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Oleh: M Arafat Imam G (*)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu dasar pemikiran yang dominan dalam perjalanan evolusi konsep desain organisasi klasik adalah prinsip Max Weber tentang organisasi ideal. Konsep Max Weber tersebut kemudian dikenal dengan istilah birokrasi. Birokrasi itu sendiri berasal dari gabungan kata biro (bureau) yang berarti kantor, tempat kerja, office desk dan krasi (kratia/kratos) yang berarti kekuatan atau peraturan. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor.

Dalam perkembangan konsep birokrasi, terdapat berbagai kritik para ahli yang saling membangun sehingga menjadikan konsep birokrasi lebih dinamis dan mudah di terima oleh masyarakat modern. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.

Menurut Agus Dwiyanto, birokrasi merupakan alat penunjang utama di dalam administrasi modern. Dasar dari legitimasi birokrasi dalam struktur pemerintahan ialah penerapan pengetahuan, rasionalitas dan teknologi. Birokrasi menjadi satu-satunya perangkat yang lebih peka terhadap penerapan manajemen yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun definisi birokrasi menurut Merriam-Webster dictionary adalah sistem pemerintahan atau bisnis yang memiliki banyak aturan rumit dan cara melakukan sesuatu .

Sedangkan menurut Encyclopedia-Britanica, birokrasi adalah sebuah bentuk spesifik dari organisasi yang ditentukan oleh kompleksitas, pembagian kerja, keabadian, manajemen profesional, koordinasi hirarkis dan kontrol, rantai ketat komando, dan otoritas hukum. Hal ini dibedakan atas organisasi informal dan kolegial. Dalam bentuk idealnya, birokrasi adalah impersonal dan rasional dan berdasarkan aturan daripada ikatan kekerabatan, persahabatan, atau otoritas patrimonial atau karismatik. Organisasi birokrasi dapat ditemukan di kedua lembaga publik dan swasta .

Perbedaan mencolok pada konsep birokrasi klasik Weber dan birokrasi kontemporer tersebut banyak dipengaruhi oleh kehadiran kritik analisis para ahli kontemporer.

B. RUMUSAN MASALAH

Makalah ini akan membahas perihal bagaimana kritik analisis konsep birokrasi Max Weber dalam perspektif para ahli yang dikutip oleh Martin Albrow dan Stephen Robbin.

BAB II PEMBAHASAN

A. KONSEP BIROKRASI MAX WEBER

Sesungguhnya Max Weber tidak pernah secara definitif menyebutkan makna birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang ideal melekat pada birokrasi.

Gejala birokrasi yang dikaji Weber adalah birokrasi-patrimonial. Gejala ini berlangsung semasa hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. Birokrasi tersebut dianggap tidak rasional oleh Weber, dikarenakan banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” sehingga tidak mencapai hasil maksimal. Atas dasar ketidakrasional itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal type) melekat pada sebuah birokrasi.

Awalnya Weber menetapkan lima keyakinan terkait kewenangan hukumnya, yaitu terdiri dari:
  1. Kode hukum yang dibentuk untuk mengklaim ketaatan dari anggota organisasi;
  2. Hukum sebagai suatu sistem aturan-aturan abstrak yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu dan administrasi dalam batasan hukum yang muncul setelah terdapat kepentingan organisasi;
  3. Orang yang menjalankan otoritas juga mematuhi perintah impersonal;
  4. Hanya anggota yang mematuhi hukum; dan
  5. Ketaatan tidak disebabkan oleh orang yang memegang otoritas, tapi pada impersonal yang telah memberikan posisi kepadanya.
Berdasarkan konsepsi dasar diatas, Weber memformulasikan delapan hal untuk membentuk hukum sistem otoritas (legal authority system) sebagai berikut:
  1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 
  2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya. Masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi; 
  3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
  4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun hukum. Pada kedua kasus tersebut diperlukan manusia yang telah terlatih;
  5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
  6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 
  7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
  8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik. 
Bagi Weber, jika kedelapan sifat di atas dilekatkan pada sebuah birokrasi, maka ia dapat dikatakan bercorak legal-rasional.

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut:
  1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; 
  2. Terdapat hirarki jabatan yang jelas; 
  3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 
  4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 
  5. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; 
  6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan; 
  7. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 
  8. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
  9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut; dan
  10. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam. 

B. BATASAN BIROKRASI MENURUT MAX WEBER

Weber juga menyatakan, birokrasi adalah bentuk dari sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek disiplin. Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yaitu sebagai berikut:

1. Kolegialitas

Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber menjelaskan bahwa didalam birokrasi sering kali seorang atasan mengambil keputusannya sendiri. Namun, jika prinsip kolegialitas diterapkan, maka itu akan mencegah timbulnya permasalahan korupsi kekuasaan.

2. Pemisahan Kekuasaan

Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara Legislatif dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan. 

3. Administrasi Amatir

Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar pegawai untuk mengerjakan tugas birokrasi. Jika itu terjadi, maka pemerintah dapat merekrut warga negara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Namun tetap dalam pengawasan pegawai birokrasi.

4. Demokrasi Langsung

Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis/masyarakat.

5. Representasi

Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili kepentingan rakyat pemilih mereka. 

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi masih sangat dipengaruhi oleh pandangan Max Weber di atas. Dengan beberapa modifikasi dan penolakan atas pandangan Weber, para ahli kontemporer melanjutkan analisisnya.

C. KRITIK ATAS PANDANGAN WEBER MENGENAI BIROKRASI 

Sebaik apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber terhadap birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan pandangan Weber yang seluruhnya diambil dari buku Birokrasi karya Martin Albrow .

Menurut Robert K. Merton, dalam artikelnya Bureaucratic Structure and Personality, ia mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Karena peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warga negara. Apa yang ditekankan Merton adalah suatu struktur yang rasional dalam pengertian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Sementara Philip Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang disfungsionalisasi birokrasi. Selznick fokus pada pembagian fungsi-fungsi di dalam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Sedangkan Talcott Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi anggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner kemudian melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam artikel berjudul Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang utama: Pemusatan hukuman (punishment centered) dan perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka berjudul Service and Procedure in Bureaucracy. Mereka menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan. Tetapi dalam prakteknya, para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan yang cocok dengan kebutuhan individu.

Rudolf Smend memiliki kesamaan seperti Weber, ia juga berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman terhadap pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secara aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakukan oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fungsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari keseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-orang sosialis mengeluhkan “keadilan bagi borjuistis”.

Reinhard Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, ia membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-kasus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.

Carl Friedrich mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrat untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Oleh karenanya, Friedrich mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.

Peter Blau dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentang keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.

R. V. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Baginya, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Joseph Lapalombara juga menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.

D. PENYELEWENGAN FUNGSI BIROKRASI

Birokrasi paling banyak diserang karena mendorong penyimpangan tujuan (goal displacement), yaitu mengganti tujuan organisasi dengan tujuan sub unit atau tujuan pribadi. Victor Thompson melihat birokrasi yang sangat diformalisasi menciptakan ketidak pastian pada yang berwewenang yang mengakibatkan sebuah perilaku biropatik (bureaupathic behavior), yaitu para pengambil keputusan menggunakan ketaatan terhadap peraturan untuk melindungi mereka sendiri dari berbuat salah . Formalisasi yang tinggi bukan untuk memberi perlindungan untuk bersembunyi di belakangnya.

Selain itu formalisasi birokrasi menimbulkan penyakit Biropatologi. Biropatologi dapat diartikan sebagai perilaku pengambil keputusan yang terlalu taat kepada peraturan formal sehingga mengakibatkan birokrasi berjalan lamban, kaku, dan tidak efisien . Ini menjadi tugas besar bagi pelaku organisasi bagaimana mendesain organisasi yang ramping, dengan mengecilkan potensi terjadinya efek samping dari birokrasi.

Biropatologi juga menimbulkan beberapa tindakan birokrat yang dipandang telah memunculkan persepsi negatif dilukiskan secara baik oleh Siagian (1996), sebagai berikut: (1) memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; (2) mencari-cari alasan, misalnya dengan mengatakan: ”dokumen pendukung kurang lengkap”, ”keterlambatan pengajuan permohonan”, dan sebagainya; (3) alasan kesibukan karena ada pekerjaan lain; (4) sulit dihubungi; (5) senantiasa memperlambat, misalnya dengan menggunakan kata-kata ”sedang diproses”. 

E.CARA PANDANG MODERN TERHADAP KONSEP BIROKRASI

Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Ia membagi tujuh cara pandang mengenai birokrasi . Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah:

1. Birokrasi sebagai Organisasi Rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi.

Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerial. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3. Birokrasi sebagai Kekuasaan yang Dijalankan oleh Pejabat

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.

4. Birokrasi sebagai Administrasi Negara (Publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. 

5. Birokrasi sebagai Administrasi yang Dijalankan Pejabat

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Pada struktur itu, para staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Mereka terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasi. Fungsi mereka itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai Suatu Organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai Masyarakat Modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Pertama, Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.

Kedua, Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal type dari suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang lega-rasional.

Ketiga, Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.

Keempat, Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah birokrasi.

Kelima, konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.

Keenam, Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah: (1) Birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3) Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat modern.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Albrow, Martin.2004. Birokrasi, Cet.3. Yogyakarta: Tiara Wacana
Dwiyanto, Agus, 2011. Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi (Struktur, Desain & Aplikasi) Edisi Ketiga. Jakarta: Ancan
Victor Thompson. 1961. Modern Organizations. New York: Knopf

WEBSITE:

http://www.merriam-webster.com/dictionary/bureaucracy di unduh pada 21 Februari 2016
http://www.britannica.com/topic/bureaucracy di unduh pada 21 Februari 2016

***

(*) Saat makalah ini ditulis pada bulan Maret 2016, penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis 4 buku, 1 novel thriller dan mahasiswa magister manajemen keuangan negara pada STIA-LAN Jakarta.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
“Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa”
Artikel ini merupakan publikasi tugas kuliah individu. Kumpulan tugas kuliah penulis telah disatukan dalam bentuk e-Book dan dapat diperoleh di Google Play Book.

Kritik Para Ahli Terhadap Konsep Birokrasi Max Weber Kritik Para Ahli Terhadap Konsep Birokrasi Max Weber Reviewed by Santana Primaraya on 8:35:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.