Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan Dalam Pemberian Legalitas Bangunan yang Terpadu di Kota Bekasi (Studi Kasus Tahun 2013)

PAPER SANKRI

Oleh: M. Arafat Imam G (*)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bekasi terbagi menjadi 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan. Kota Bekasi memiliki luas wilayah sekitar 210,49 km2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Kondisi geografis Kota Bekasi yang berbatasan langsung pada sebelah timur Provinsi DKI Jakarta membuat Kota Bekasi sebagai salah satu tujuan utama para pendatang dari berbagai kota lain untuk tinggal menetap dan berbagai aktifitas usaha lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Kota Bekasi, penduduk Kota Bekasi tahun 2009 tercatat sebanyak 1.882.869 jiwa, sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, pada tahun 2011 jumlah penduduk Kota Bekasi tercatat sebanyak 2.447.930 jiwa. Dapat disimpulkan bahwa rasio luas wilayah Kota Bekasi yang terbatas berbanding jumlah penduduk yang terus meningkat ini akan membuat berbagai tantangan di Kota Bekasi, salah satunya adalah pertumbuhan permintaan pendirian bangunan baru yang tinggi di wilayah Kota Bekasi.

Berkembangnya kebutuhan masyarakat Kota Bekasi tersebut menimbulkan kewajiban pada Pemerintah Kota Bekasi untuk menata bangunan yang berdiri pada wilayah Kota Bekasi supaya lebih terpadu. Maka pada tahun 2008 Pemerintah Kota Bekasi membentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) sesuai Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 09 Tahun 2008 tentang Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi. Berdasarkan semua jenis pelayanan perizinan yang dilakukan oleh BPPT Kota Bekasi, hanya beberapa saja yang paling sering dibuat perizinannya, salah satunya yaitu surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal itu dikarenakan hampir seluruh masyarakat membutuhkan surat keterangan IMB agar bangunan yang dimilikinya mempunyai tanda bukti yang sah secara hukum. Oleh karena itu jika Pemerintah Kota Bekasi hendak memaksimalkan usaha untuk menata wilayah kota Bekasi menjadi terpadu, maka salah satu tindakan solusinya adalah dengan seselektif mungkin dalam memberikan IMB di wilayah kota Bekasi. Hal itu supaya mencegah pendirian berbagai bangunan yang illegal secara hukum yang dapat merugikan kenyamanan masyarakat umum.

Namun dalam usaha penataan bangunan tersebut terdapat permasalahan seperti yang penulis kutip pada sebuah media online, Poskota.co.id tertanggal 17 Mei 2011, yaitu bahwa IMB ratusan bangunan di Kota Bekasi bakal ditinjau ulang karena Dinas Tata Kota (Distako) Bekasi mensinyalir surat IMB tersebut melanggar ketentuan yang berlaku. Adapun Kepala Bidang Penataan Bangunan P2B Kota Bekasi, Sulaiman, dikutip pada situs berita yang sama mengungkapkan bahwa IMB ratusan bangunan ini tidak sesuai dengan fisiknya. “Ada sekitar 100 bangunan perumahan di Kota Bekasi yang akan kami tinjau ulang lagi kepemilikan IMB tersebut,” katanya.

Bangunan tersebut terutama adalah bangunan yang berdiri sebelum tahun 2008, karena BPPT Kota Bekasi sendiri baru terbentuk melalui Peraturan Daerah pada tahun tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan empiris, berbagai permasalahan pada penataan bangunan yang terpadu di Kota Bekasi dapat penulis identifikasikan sebagai berikut:
  1. Terdapat banyak bangunan yang telah berdiri kokoh atau yang masih dalam tahap pembangunan belum mempunyai izin legalitas IMB dari BPPT Kota Bekasi;
  2. Ketiadaan IMB pada beberapa bangunan yang telah didirikan membuat Dinas Tata Kota Kota Bekasi masih belum memiliki database berbagai bangunan;
  3. Terdapat penyalahgunaan ruang antara ruang usaha dan ruang pemukiman sehingga sering mematikan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang berada disekitarnya;
  4. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk senantiasa mengurus perizinan legalitas IMB sebelum mendirikan sebuah bangunan; dan
  5. Masyarakat mengidentikkan pemberian Izin IMB selalu harus menggunakan biro jasa sehingga masyarakat kemudian berpikir harus mengeluarkan biaya tambahan, hal tersebut membuat masyarakat merasa enggan ketika harus mengurus IMB.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana implementasi kebijakan IMB dalam pemberian legalitas bangunan yang terpadu di Kota Bekasi sesuai dengan peraturan yang berlaku?
  2. Bagaimana kerjasama yang dilakukan BPPT dengan unsur lembaga lain yang terkait dalam mewujudkan pemberian legalitas bangunan yang terpadu di wilayah Kota Bekasi?
  3. Bagaimana kebijakan yang ditempuh dari BPPT Kota Bekasi sebagai solusi dari banyaknya masyarakat yang kurang sadar terhadap perlunya IMB terhadap pendirian bangunannya?

BAB II KERANGKA TEORI

A. Kebijakan Publik

Kebijakan publik dibutuhkan suatu masalah kebijakan dan menurut Dunn (2003:111) “Policy issues depending on the pattern of involvement of stakeholders (policy stakeholders) specific, the individuals or groups of individuals who have a stake in the policies as they affect and are affected by government decissions”. Jadi, masalah kebijakan tergantung pada pola keterlibatan dari pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Berbagai macam literatur definisi kebijakan publik yang disampaikan para ahli, kebijakan publik memiliki 3 (tiga) kegiatan pokok seperti yang disampaikan Nugroho (2004:74) yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

B. Implementasi Kebijakan

GAMBAR 2.1
MODEL PENDEKATAN DIRECT AN INDIRECT IMPACT ON IMPLEMENTATION (George . Edward III)

Sumber: Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik (2008:150)

Implementasi kebijakan menurut Edward III dalam Leo Agustinus diatas dijelaskan terdapat empat variable yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Komunikasi itu penting karena pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik antara pembuat kebijakan dan para implementator, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan kepada bagian personalia yang tepat. Terdapat tiga indikator dalam mengukur keberhasilan komunikasi yaitu:
  • a) Transmisi, penyaluran komunikasi secara baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula yaitu dengan menghindari miskomunikasi (salah pengertian).
  • b) Kejelasan, komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas (street-level-beureuacrats) dan tidak haruslah membingungkan (tidak ambigu/mendua maknanya).
  • c) Konsistensi, perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan.
2. Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya, yang terdiri dari:
  • a) Staf sebagai sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan. Penambahan jumlah staf dan implementot saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan kecukupan staf dengan keahlian dan kompetensi (kemampuan) dalam mengimplementasikan kebijakan.
  • b) Informasi, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Dan kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah.
  • c) Wewenang, merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
  • d) Fasilitas, fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Variabel ketiga adalah disposisi. Disposisi adalah sikap dari para pelaksana kebijakan untuk memiliki kemampuan dalam melaksanakan. Adapun hal yang perlu dicermati pada variabel ini adalah pengangkatan personil, yaitu dalam pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga. Insentif, yaitu dengan menambah keuntungan atau biaya tertentu yang mungkin akan menjadi faktor pendorong bagi para pelaksana kebijakan untuk melaksanakan perintah dengan baik.

4. Variabel keempat adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menciptakan penggunaan berbagai sumber daya yang ada menjadi tidak efektif dan Edward III dalam Leo Agustino (2008:153) yang dapat dengan melakukan Standart Operating Prosedure (SOPs) dan melakukan fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan pegawai diantara beberpa unit kerja.

Hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam setiap implementasi kebijakan maka akan terdapat serangkaian kegiatan pelaksanaan dari kebijakan yang melibatkan sumberdaya yang ada yakni sarana dan prasarananya untuk dapat dilaksanakan kepada masyarakat demi tercapainya tujuan yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

BAB III ANALISIS

A. Implementasi Kebijakan IMB dalam Pemberian Legalitas Bangunan yang Terpadu di Kota Bekasi
BPPT Kota Bekasi merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melaksanakan tugas dan fungsinya mengacu pada landasan hukum yaitu antara lain:
  1. Perda Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2008 tentang Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi;
  2. Perwal Bekasi Nomor 18 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan pada pada Pemerintah Kota Bekasi;
  3. Kepwal Bekasi No. 060/Kep.02-Org/I/2009 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Kewenangan Penandatangan Perizinan Kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi;
  4. Kepwal Bekasi No. 060/Kep.27-Org/II/2009 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Walikota Bekasi No. 060/Kep.02-Org/I/2009 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Perizinan Kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bekasi; dan
  5. Kepwal Bekasi Nomor: 060/Kep.48-Org/II/2010 Tentang Pelimpahan kewenangan penandatangan Perijinan dan Non Perijinan kepada Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) dan Camat.
Sedangkan landasan hukum yang mengatur tentang IMB di Kota Bekasi adalah sebagai berikut:

1. Perda Kota Bekasi Nomor 15 tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Sesuai kutipan ayat pada Perda Kota Bekasi No.15 tahun 2012 tentang Retribusi IMB yaitu pada Bab III tentang Perizinan dan Persyaratan Permohonan IMB yaitu pada Pasal 3 ayat (2) dan Bab V tentang Kewenangan Penerbitan Izin yaitu pada Pasal 16 ayat (1) dan (2), telah dijelaskan bahwa Perda yang membahas mengenai IMB ini diperlukan mekanisme SOP (Standart Operating Procedure) yang ditetapkan oleh Walikota.

2. Perwal Bekasi Nomor 49 tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Pada perwal ini disinggung perihal pentingnya setiap bangunan yang berada di wilayah Kota Bekasi harus disertai dengan terbitnya IMB, yaitu pada Bab III Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pasal 3 Ayat (1) dijelaskan bahwa setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan bangunan wajib memiliki IMB. Serta pada pasal yang sama ayat (2) dijelaskan bahwa IMB diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Walikota, yang dalam hal ini adalah Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.

3. Kepwal Bekasi Nomor: 060/Kep.479-BPPT/XI/2012 tentang Prosedur Tetap/ Standard Operating Procedure (SOP) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi.
Merupakan kebijakan yang paling konkret tentang IMB, didalamnya dijelaskan antara lain:
1) Beberapa istilah dalam izin dan pertimbangan teknis terkait izin pemanfaatan ruang (IPPL, Rencana Tapak dan IMB);
2) Persyaratan administrasi dan teknis penerbitan izin pemanfaatan ruang (IPPL, Rencana Tapak dan IMB);
3) Persyaratan teknis penerbitan izin penggunaan lahan (IPPL) dan Rencana Tapak:
a) Perumahan;
b) Industri, perdagangan dan jasa:
· Ruko/rukan;
· Toko/kios;
· Pasar tradisional;
· Mall, pusat pertokoan/perkulakan atau bangunan sejenis;
· SPBU dan SPBE;
· Kantor;
· Rumah makan;
· Showroom dan bengkel mobil;
· Hotel;
· Industri/pabrik;
· Gudang;
· Sekolah (Setingkat SD, SMP dan SMA) dan perguruan tinggi;
· Rumah sakit dan bangunan sejenisnya;
· Bangunan non-gedung; dan
· Sarana ibadah.
4) Persyaratan teknis penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB):
a) Untuk jenis imb baru;
b) Untuk jenis imb khusus:
· IMB pemutihan;
· IMB perpanjangan;
· IMB balik nama;
· IMB perluasan; dan
· IMB alih fungsi bangunan.

B. Kerjasama dengan Unsur Lembaga Lain yang Terkait dalam Pemberian Legalitas Bangunan yang Terpadu di Kota Bekasi
Berdasarkan landasan hukum kebijakan IMB di Kota Bekasi diatas, BPPT mengemban kebijakan pelayanan pada aspek administrasi IMB, sedangkan pada sisi teknis kebijakannya BPPT didukung oleh beberapa SKPD lain yang terkait dan berkewenangan untuk melakukan kajian teknis. SKPD lain terkait tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Dinas Tata Kota (Distako) yaitu pada berita acara serah terima administrasi prasarana dan utilitas;
  2. Dinas Perhubungan (Dishub) yaitu pada pertimbangan teknis lalu lintas untuk lokasi tertentu sesuai ketentuan yang berlaku;
  3. Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) yaitu pada pertimbangan teknis lingkungan UKL/UPL untuk luas lahan tertentu atau AMDAL luas tertentu sesuai jenis bangunan;
  4. Dinas Binawarga dan Tata Air yaitu pada pertimbangan teknis peil banjir luasan tertentu sesuai jenis bangunan;
  5. Dinas Bangunan dan Pemadam Kebakaran Pertimbangan yaitu pada teknis pemadam kebakaran sesuai ketentuan berlaku; dan
  6. Kebijakan khusus bagi gedung yang didirikan memiliki ketinggian puncak lebih dari 20 meter dan pada wilayah KKOP (Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan) maka diharuskan adanya Izin khusus. Pada Kota Bekasi harus mendapatkan izin dari Landasan Udara Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur.
Proses kerjasama antara BPPT dan lembaga lain yang terkait sesuai dengan ketetapan didalam SOP Kepwal tersebut dilakukan secara tidak langsung. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerjasama hanya dilakukan pada batasan administrasi, yakni setiap pemohon diharuskan memenuhi persyaratan pemenuhan berkas-berkas sesuai dengan apa yang tercantum didalam SOP jenis pendirian bangunannya. Setelah semua berkas terkumpul maka barulah pihak pemohon izin menyerahkan berkas-berkas itu pada pihak BPPT. Setelah berkas-berkas tersebut berada di BPPT, maka selanjutnya pihak BPPT membuat rapat teknis internal untuk mengevaluasi sesuai tidaknya pendirian bangunan yang diajukan oleh pemohon izin. Barulah setelah itu jika semua telah disetujui, maka selanjutnya IMB siap diberi penomoran pada bagian Tata Usaha BPPT lalu diterbitkan IMB-nya kepada pemohon izinnya.

Khusus pada penertiban bangunan liar yang telah berdiri namun tidak memiliki IMB, BPPT tidak berkewenangan memanggil pemilik bangunan, karena itu adalah kewenangan dari Dinas Tata Kota (Distako).

C. Upaya Kebijakan BPPT Sebagai Solusi dari Masyarakat yang Kurang Sadar Terhadap Perlunya IMB Terhadap Pendirian Bangunannya
Meskipun BPPT Kota Bekasi tidak berwewenang memberikan peringatan pada pemilik bangunan tanpa IMB, tetapi BPPT memiliki tugas sebagai penghimbau masyarakat untuk tertib dalam pendirian bangunan yang hendak didirikan dalam bentuk kegiatan sosialisasi wajib secara berkala yang dana kegiatannya dibiayai oleh APBD. Kegiatan sosialisasi tersebut bersifat fleksibel yaitu artinya bisa dilakukan dimana saja dan kepada masyarakat siapa saja.

BAB IV KESIMPULAN

GAMBAR 4.1
KERANGKA PEMIKIRAN

Menganalisa hasil penulisan yang dilakukan dalam implementasi kebijakan izin mendirikan bangunan dalam pemberian legalitas yang terpadu di Kota Bekasi, penulis menyimpulkan hasilnya sebagai berikut:
1. Implementasi Kebijakan IMB di Kota Bekasi sesungguhnya sudah memiliki semua persyaratan variabel untuk hadirnya sebuah implementasi kebijakan yang baik, hal tersebut dikarenakan faktor BPPT Kota Bekasi berada pada kota yang sudah serba dituntut kemajuan teknologi dan informasi. Namun karena faktor kota metropolis pulalah maka kemudian banyak permasalahan yang muncul bahkan permasalahan tersebut bisa jadi lebih kompleks daripada permasalahan yang sama namun berada didaerah pelosok lain;

2. Pada bangunan yang telah berdiri sebelum tahun 2008 namun belum memiliki IMB sedang dalam proses peringatan dan penertiban oleh Distako Kota Bekasi. Selain itu, BPPT juga turut berperan dengan melaksanakan kegiatan.sosialisasi rutin IMB;

3. Hasil kesimpulan yang dapat penulis simpulkan adalah implementasi IMB pada BPPT Kota Bekasi sudah berjalan cukup baik tetapi secara penuh belum optimal. Perihal penilaian pada aspek cukup baik dan belum optimalnya adalah dalam hal-hal berikut ini yang dikelompokan berdasarkan empat variable implementasi kebijakan sesuai teori Edward III:

a) Komunikasi
Sarana komunikasi yang dipergunakan sudah baik terutama komunikasi antar pegawainya, serta juga antara masyarakat dan pihak BPPT Kota Bekasi berkenaan dengan kejelasan proses. Namun karena masih ada beberapa bangunan lama yang berdiri tanpa IMB, maka variabel komunikasi ini masih penulis katakan belumlah optimal.

b) Sumberdaya
Banyak implementasi yang terkendala karena faktor variabel ini, sesuai dengan yang dikatakan oleh Jones (1984) dalam Murtir Jeddawi (2008:8) bahwa “Implementasi itu memang mudah dipahami secara abstrak dan seolah-olah dapat dilaksanakan. Padahal dalam praktiknya senantiasa menuntut adanya ketersediaan sumber daya”.

Namun ternyata tidak pada BPPT Kota Bekasi, karena segala turunan dari variabel sumberdaya ini juga telah baik, karena dari segala sisi sudah baik seperti aparatur, informasi, wewenang dan fasilitas sudah tersedia dan telah dilakukan oleh para praktisi pegawai BPPT Kota Bekasi yang berpendidikan tinggi. Menjadi belum optimal karena terkadang masih timbul sebuah suasana kerja yang kaku diantara para pegawainya, yaitu pegawai yang sibuk dengan urusan pekerjaannya masing-masing.

c) Disposisi
Jelasnya frekuensi dan jadwal pembinaan yang dilakukan oleh Kepala Badan kepada seluruh pegawainya dan terkhusus Kepala Bidang Pelayanan Pengendalian Perizinan Jasa Usaha kota Bekasi yang mengurusi perihal kebijakan IMB kepada pegawai dibidangnya membuat variabel ini sudah baik diterapkan di BPPT Kota Bekasi. Menjadi belum optimal karena kapasitas tingkat jam kerja atasannya yang tampak begitu tinggi sehingga pegawainya cenderung tidak terlalu dekat dengan atasannya.

d) Struktur Birokrasi
Dengan telah ditetapkannya Kepwal Bekasi 060/Kep.479-BPPT/XI/2012 tentang Prosedur Tetap/ Standard Operating Prosedure (SOP) BPPT Kota Bekasi maka kejelasan pada SOP dan Fragmentasi telah dapat dikatakan baik. Menjadi belum optimal karena masyarakat masih seringkali mengurus IMB dengan menggunakan jasa calo karena masyarakat menganggap SOP yang dibuat masih berat dan lama untuk diproses secara pribadi.

4. Kerjasama yang dilakukan BPPT dengan unsur lembaga lain yang terkait dalam IMB telah baik dilaksanakan, berikut alasannya:
a) Proses kerjasama berlangsung secara pemberkasan kajian teknis yang dikumpulkan ke BPPT Kota Bekasi semata, sehingga memudahkan proses koordinasi wilayah berserta persyaratan kajian teknis yang berlaku untuk kemudian dilakukan proses administrasinya.

b) Faktor telah adanya ketetapan kebijakan berupa keputusan walikota bekasi tentang SOPs kebijakan IMB membuat proses antara ketiga pihak yakni masyarakat, BPPT Kota Bekasi dan Instansi lain yang terkait menjadi lebih mudah dipahami.

5. Proses sosialisasi BPPT Kota Bekasi kepada masyarakat sudah cukup baik dari segi intensitasnya namun sedikit belum optimal dari segi kualitasnya. Hal tersebut ditandai dengan masih adanya yang mengurus IMB dengan menggunakan jasa calo.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Dunn,William N.2003.Pengantar:Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Irawan, Prasetya. 2000. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara STIA LAN Press
Jeddawi, Murtir. 2008. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Kreasi Total Media
Luangkali, Bernandus. 2007. Analisis Kebijakan Publik dalam Proses Pengambilan Keputusan. Jakarta: Design Mas Zen
Moleong, JL. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Narbuko, Chalid, dan Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Nugroho D, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo
Syafri, Wirman dan Israwan Setyoko. 2008. Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Pamong Praja. Bandung: Alqaprint

B. Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2008 tentang Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 15 tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Peraturan Walikota Bekasi No.49 tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 060/Kep.479-BPPT/XI/2012 tentang Prosedur Tetap/ Standard of Procedure (SOP) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi

C. Sumber Internet

http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/05/17/imb-ratusan-bangunan-di-kota-bekasi-ditinjau-ulang diunduh pada 1 Maret 2013

***

(*) Saat makalah ini ditulis pada bulan Mei 2016, penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis 4 buku, 1 novel thriller dan mahasiswa magister manajemen keuangan negara pada STIA-LAN Jakarta.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
“Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa”
Artikel ini merupakan publikasi tugas kuliah individu. Kumpulan tugas kuliah penulis telah disatukan dalam bentuk e-Book dan dapat diperoleh di Google Play Book.
Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan Dalam Pemberian Legalitas Bangunan yang Terpadu di Kota Bekasi (Studi Kasus Tahun 2013) Implementasi Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan Dalam Pemberian Legalitas Bangunan yang Terpadu di Kota Bekasi (Studi Kasus Tahun 2013) Reviewed by Santana Primaraya on 11:37:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.