Critical Review Penelitian Berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi

Critical Review penelitian berjudul "Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output Dan Inflasi" oleh Ndari Surjaningsih, G. A. Diah Utari dan Budi Trisnanto, penelitian tersebut dapat diunduh DISINI

BAGIAN I RESUME ARTIKEL

1. ISU / FENOMENA

Sebagaimana dikemukakan oleh Hemming, R., et. al (2002), hasil simulasi beberapa model makro ekonomi dan dengan pendekatan persamaan reduced form di negara maju, menunjukkan positifnya multipliers jangka pendek dari kebijakan fiskal.

Pada awal dekade 70-an dan 80-an kebanyakan model makro berstruktur Keynesian yang bersifat backward-looking expectation. Dalam perkembangan selanjutnya, struktur model tersebut mulai memasukkan intertemporal budget constraints dan menggunakan forward looking expectation variabel, seperti nilai tukar.

Sementara itu, Hemming, R., et. Al juga merangkum penelitian tentang hal yang sama di negara berkembang dan menyimpulkan bahwa arah dan besaran fiskal multipliers di kelompok negara ini bersifat inkonklusif.

Penelitian oleh Haque dan Montiel (1991), misalnya, menyimpulkan bahwa dampak kenaikan pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek dan menengah, justru bersifat kontraktif. Hasil ini dikaitkan dengan adanya crowding out, yaitu kenaikan pengeluaran pemerintah yang justru meningkatkan suku bunga riil sehingga berdampak kontraktif terhadap output.

Sedangkan penelitian oleh Haque, Montiel, dan Symansky (1991) menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah, walaupun pada awalnya mengakibatkan penurunan output, namun akan menaikkan output dan inflasi di periode selanjutnya.

Sementara itu, Khan dan Knight (1981) menyimpulkan bahwa elastisitas pendapatan nominal dari pengeluaran pemerintah dan pajak adalah positif dan mendekati (1).

Kesimpulan tersebut ditarik dari sampel 29 negara berkembang dengan menerapkan modified monetary model yang memperlakukan variabel inflasi dan output sebagai variable endogen.

Mengingat penelitian di beberapa negara maju dan berkembang tersebut tidak hanya menggunakan satu metode saja, untuk kasus Indonesia dipandang perlu untuk meneliti dampak pengeluaran pemerintah dengan menggunakan metode lain, misalnya persamaan reduced form. Metode alternatif ini dipandang dapat melengkapi simulasi dari model makroekonomi yang telah ada, dan dapat memberikan asesmen alternatif tentang dampak pengeluaran pemerintah.

Selain dampak pengeluaran pemerintah terhadap output, aspek lain yang penting adalah masalah sinkronisasi kebijakan fiskal dengan siklus bisnis perekonomian. Idealnya, kebijakan fiskal memiliki sifat sebagai automatic stabilizer perekonomian. Artinya, dalam kondisi perekonomian sedang mengalami ekspansi, maka pengeluaran pemerintah seharusnya berkurang atau penerimaan pajak yang bertambah. Sebaliknya, jika perekonomian sedang mengalami kontraksi, kebijakan fiskal seharusnya ekspansif melalui peningkatan belanja atau penurunan penerimaan pajak. Dengan demikian, automatic stabilizer kebijakan fiskal mensyaratkan adanya fungsi countercyclical dari kebijakan fiskal.

Untuk kasus Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Akitoby, et.al. (2004) dan Baldacci (2009) belum menemukan adanya countercyclicality dalam kebijakan fiskal. Karakter kebijakan fiskal Indonesia lebih cenderung asiklikal atau bahkan prosiklikal.

Kesimpulan tersebut juga diperkuat oleh riset di Bank Indonesia (2009) (2)  bahwa kebijakan fiskal Indonesia cenderung bersifat asiklikal secara agregat atau justru prosiklikal jika berdasarkan pengelompokan pengeluaran. Sifat siklikalitas yang demikian berpotensi memberikan tekanan instabilitas dalam perekonomian (3), seperti kenaikan inflasi. Plotting antara rasio pengeluaran pemerintah, dengan tidak memasukkan pembayaran bunga, dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya hubungan yang searah pada periode setelah krisis 1998. Sebelum krisis ekonomi 1998, hubungan diantara kedua variabel tersebut cenderung berlawanan arah.

Secara umum, alasan mengapa negara berkembang menempuh kebijakan fiskal yang tidak countercyclical terutama terkait dengan keterbatasan sumber daya finansial dan kelemahan institusional. Kelemahan institusional diantaranya terkait dengan adanya kelompok yang cukup berpengaruh dalam masyarakat yang berusaha agar kepentingannya diakomodasi oleh pemerintah. Kelemahan ini menyebabkan terjadinya diskresi kebijakan fiskal yang dapat menyebabkan volatilitas inflasi yang lebih tinggi. Transmisi kebijakan fiskal ke inflasi dapat melalui permintaan agregat, spillover public wages ke sektor swasta, serta pengaruh pajak terhadap biaya marginal dan konsumsi swasta. Selain itu, kebijakan fiskal berdampak terhadap inflasi melalui ekspektasi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk membayar utang publiknya.

2. TUJUAN

  1. Apakah terdapat dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi? Kebijakan fiskal di sini meliputi dampak pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak pemerintah terhadap output dan harga.
  2. Apakah terdapat diskresi kebijakan fiskal di Indonesia?
  3. Jika ada, bagaimana dampaknya terhadap volatilitas output dan inflasi?

3. KONTRIBUSI TEORI

Sebelum teori ekonomi Keynes, kebijakan fiskal dianggap hanya merelokasi sumber daya finansial dari sektor swasta ke pemerintah sehingga dipandang tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja dan permintaan agregat. Tapi Keynes menekankan bahwa terdapat dampak makro atas pengeluaran dan pajak pemerintah, yaitu adanya dampak berganda (multiplier effect) dari pengeluaran tersebut.

4. TEORI-TEORI YANG DIGUNAKAN

a) DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP OUTPUT DAN INFLASI

Dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian melalui pendekatan permintaan agregat diterangkan melalui pendekatan Keynes. Pendekatan Keynesian mengasumsikan adanya price rigidity dan excess capacity sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (demand driven). Keynes menyatakan bahwa dalam kondisi resesi, perekonomian yang berbasis mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa intervensi dari Pemerintah. Kebijakan moneter tidak berdaya untuk memulihkan perekonomian karena kebijakan hanya bergantung kepada penurunan suku bunga sementara dalam kondisi resesi tingkat suku bunga umumnya sudah rendah dan bahkan dapat mendekati nol.

Dalam pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi rumah tangga. Demikian pula halnya apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak sebagai stimulus perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan pada akhirnya mempengaruhi permintaan.Kecenderungan rumah tangga untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan marginal prospensity to consume (mpc), menjadi rantai perekonomian untuk peningkatan pengeluaran yang lebih banyak dan pada akhirnya terhadap output.

Untuk kasus Indonesia, aplikasi teori Keynes tersebut di beberapa model ekonomi makro yang dikembangkan Bank Indonesia, meliputi SOFIE dan SEMAR (4), sejalan dengan temuan empiris tersebut. Namun, derajat pengaruhnya terhadap output saling berbeda. Dalam SOFIE, kenaikan pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi, sebesar Rp10 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,3%. Sementara penambahan pengeluaran pemerintah untuk program infrastruktur sebesar Rp10,8 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,0512% di model SEMAR. Perbedaan pengaruh tersebut mungkin disebabkan oleh sifat kedua model tersebut yang berbeda, yaitu SOFIE yang bersifat dinamis stokastik, sementara SEMAR lebih bersifat statis deterministk.

b) DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP INFLASI

Dalam setting perekonomian secara umum, fungsi bank sentral adalah mengendalikan tingkat harga. Hal ini terkait dengan teori quantity ofmoney oleh Milton Friedman yang menyatakan bahwa “inflation is always and everywhere a monetary phenomenon”. “Namun demikian pandangan tradisional ini mendapat tantangan dari fiskal theory of the price level (FTPL) yang dikembangkan oleh Leeper (1991), (Woodford (1994,1995), dan Sims (1994), yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam penentuan harga melalui budget constraint yang terkait dengan kebijakan utang, pengeluaran dan perpajakan.

Fiskal theory of the price level (FTPL) dapat dijelaskan dengan 2 pendekatan yaitu weak form FTPL dan strong form FTPL. Weak form FTPL yang mencerminkan dominasi kebijakan fiskal (fiskal dominance) diterangkan melalui adanya tautan antar kebijakan fiskal dan kebijakan moneter melalui seigniorage. Karena seigniorage (pendapatan dari pencetakan uang) merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah, maka kebijakan fiskal dan moneter jangka panjang ditentukan secara bersamaan oleh fiskal budget constraint.

Studi empiris mengenai FTPL masih terbatas dan hasilnya relatif beragam. Kendala utama dari studi ini adalah bahwa perilaku kenaikan harga yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal hanya dapat diidentifikasi apabila government’s intertemporal budget constraint tidak balance.

c) DISKRESI KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP VOLATILITAS OUTPUT DAN INFLASI

Diskresi kebijakan, baik moneter dan fiskal, sering menjadi perdebatan publik.Di bidang moneter, perdebatan tentang diskresi telah mencapai pada kesepahaman bahwa kebijakan moneter harus bebas dari intervensi pemerintah, yaitu dengan membentuk bank sentral yang independen. Namun, untuk kebijakan fiskal belum diperoleh kesepakatan tentang mekanisme dan institusi yang dapat menghindarkan pengambil keputusan untuk melakukan diskresi.

Diskresi kebijakan fiskal didefinisikan sebagai perubahan atau reaksi kebijakan fiskal yang tidak mencerminkan reaksi terhadap kondisi ekonomi yang dihadapi (Fatas & Mihov, 2003). Kebijakan fiskal dapat dikategorikan menjadi 3:
  1. automatic stabilizers;
  2. diskresi kebijakan fiskal sebagai respons dari kondisi ekonomi;
  3. diskresi kebijakan yang dilakukan untuk alasan selain kondisi makro ekonomi saat ini.
Pada dasarnya, kebijakan fiskal berfungsi sebagai automatic stabilizers dari perekonomian, yang mensyaratkan adanya sifat countercyclical dari kebijakan tersebut. Selain itu, penerapan kebijakan fiskal dapat bersifat diskresi, baik untuk merespons perkembangan ekonomi maupun alasan yang tidak berlatarbelakang kondisi makro ekonomi.

Di sisi lain, diskresi kebijakan fiskal dapat membahayakan stabilitas makroekonomi. Oleh karena itu, terdapat pandangan bahwa kebijakan fiskal perlu restriksi.Namun, dalam perdebatannya juga muncul pandangan agar kebijakan fiskal sebaiknya tidak perlu direstriksi. Alasan yang mendasari pandangan ini adalah bahwa kebijakan fiskal dapat memperhalus fluktuasi siklus bisnis melalui pengeluaran pemerintah yang ekspansif, pemotongan pajak di saat resesi, dan kebijakan fiskal kontraktif di saat perekonomian dalam tahap ekspansif.

Studi dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi biasanya dilakukan dengan mempelajari keterkaitan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta dampaknya terhadap inflasi. Sebagaimana dipahami bahwa dalam kerangka makroekonomi, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal akan memengaruhi inflasi melalui dampak dari kebijakan tersebut terhadap perubahan di sisi permintaan dan penawaran agregat. Yang menjadi pertanyaan adalah kondisi yang bagaimana yang dapat menyebabkan kebijakan fiskal dapat memengaruhi kebijakan moneter dan selanjutnya inflasi. Salah satu penjelasan yang logis adalah melalui bank sentral yang tidak independen. Jika Pemerintah dapat mengintervensi kebijakan moneter maka terdapat kemungkinan Pemerintah akan menggunakan kekuatan tersebut untuk mendukung kebijakan yang diambil. Untuk membiayai defisitnya misalnya, Pemerintah akan meminta bank sentral untuk melakukan hal tersebut atau meminta untuk menjaga suku bunga pada tingkat yang rendah agar biaya bunga yang harus dibayar Pemerintah rendah.

Demikian halnya bila terjadi konflik maka Pemerintah akan memaksa bank sentral untuk mendukung kebijakannya (Sargent dan Wallace, 1981).

Studi empiris mengenai keterkaitan level defisit fiskal dengan inflasi melalui jalur kebijakan moneter masih inkonklusif. Beberapa studi menyimpulkan bahwa pemisahan bank sentral dari pemerintah mendorong rendahnya inflasi. Hal tersebut mendukung hipotesa bahwa intervensi Pemerintah terhadap kebijakan moneter dapat meningkatkan inflasi. Namun, studi lainnya (Fuhrer 1997, Campillo dan Miron 1996) mengindikasikan bahwa pengaruh independensi bank sentral menurun bila mempertimbangkan faktor lainnya.

5. METODOLOGI

a) DATA DAN VARIABEL

Penelitian ini menggunakan variabel-variabel dalam model yang digunakan oleh Perotti (2002) sebagaimana terdapat pada Tabel 1 dengan frekuensi data triwulanan sejak tahun 1990:Q1 hingga 2009:Q4. Seluruh data dinyatakan dalam logaritma. Fatas dan Mihov (2001) menyatakan bahwakelima variabel di bawah ini adalah variabel makro minimal yang dibutuhkan untuk mempelajari dampak kebijakan fiskal.
NO
VARIABEL
KETERANGAN VARIABEL
CAKUPAN DATA
SUMBER
1
LTSPNDRLSA
Total pengeluaran pemerintah riil (meliputi Pem. Pusat, kecuali pembayaran bunga utang, dan Pem. Daerah) dengan
menghilangkan pengaruh siklikal. Nilai riil
dilakukan dengan membagi nilai nominal
mencakup pengeluaran untuk
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Pengeluaran Pemerintah
Pusat excluding pembayaran
bunga utang.
Departemen Statistik
Ekonomi dan Moneter
Bank Indonesia (DSM-BI)
2
LTTAXRLSA
Total penerimaan pajak riil yang telah dengan weighted average government dihilangkan dari pengaruh siklikal. Nilai riil diperoleh dengan membagi nilai nominal
dengan CPI.

Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (DSM-BI)
3
LGDPRLSA
PDB riil yang telah dismoothing dari
pengaruh siklikal

Badan Pusat Statistik (BPS)
4
LCPI
Indeks Harga Konsumen

Badan Pusat Statistik (BPS)
5
LDEP_3
Suku bunga deposito berjangka 3 bulan

Departemen Statistik
Ekonomi dan Moneter
Bank Indonesia (DSM-BI)

b) TEKNIK ESTIMASI

Studi ini menggunakan dua teknik estimasi:
  1. Model Vector Error Correction Model (VECM); dan
  2. Model regresi linear.
Pendekatan pertama yakni VECM digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi, sementara pendekatan kedua digunakan untuk menganalisis dampak diskresi kebijakan fiskal terhadap volatilitas output dan inflasi.

VECM adalah model VAR yang dirancang untuk digunakan pada data series yang tidak stasioner dan diketahui memiliki hubungan kointegrasi. Dalam VECM terdapat spesifikasi hubungan kointegrasi yang membatasi perilaku jangka panjang dari variabel endogen dan eksogen agar konvergen terhadap hubungan kointegrasinya namun memungkinkan adanya penyesuaian dinamis dalam jangka pendek.Dalam kointegrasi dikenal istilah error correction karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang secara bertahap dikoreksi melalui penyesuaian jangka pendek.

Untuk pengujian menggunakan VECM, pada tahap awal seluruh variabel akan diuji stasionaritasnyauntuk menentukan order integrasi. Selanjutnya penentuan jumlah lag optimal dilakukan menggunakanestimasi unrestricted VARs. Persamaan VECM akan diestimasi menggunakan prosedur Johansen»s maximum likelihood untuk menentukan Jumlah cointegrating vector dan membedakan antara hubungan jangka panjang dan dinamika jangka pendeknya. Selanjutnya akan dilakukan pengujian serial correlation menggunakan LM Test dan uji heteroskedasticity menggunakan White Test. Penelitian ini juga akan menganalisis Impulse Response Function (IRF) untuk mempelajari dinamika akibat shock terhadap perilaku variabel-variabel yang diteliti.

Terhadap volatilitas output, persamaan regresi diadopsi dari Fatas dan Mihov (2003) sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan (10). Sementara terhadap volatilitas inflasi digunakan persamaan regresi yang diadopsi dari Rother (2004) yang ditunjukkan dalam persamaan (11). Pengukuran inflation volatility menggunakan unconditional variability dari laju inflasi.Metode ini didefinisikan sebagaideviasi dari laju inflasi bulanan dari rata-ratanya selama setahun. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi IHK. Definisi volatilitas yang sama juga diterapkan terhadap kontrol variabel nilai tukar Rupiah.

6. HASIL ANALISIS

Estimasi VECM dimulai dengan melakukan uji stasionaritas terhadap setiap variable menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Hasil pada uji stasionaritas menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner pada tingkat level. Oleh karenanya disimpulkan bahwa seluruh variabel berintegrasi pada order 1.

Hasil dari pengujian VECM menunjukkan bahwa variabel yang signifikan yang mempengaruhi output dalam jangka panjang adalah pajak, inflasi dan suku bunga (Tabel 7). Variabel inflasi dan suku bunga mempunyai tanda sesuai yang diharapkan dimana dalam jangka panjang peningkatan inflasi serta suku bunga dapat memperlambat output. Variabel pengeluaran pemerintah memiliki tanda sesuai yang diharapkan namun tidak signifikan. Di lain pihak pajak ternyata berdampak positif terhadap output dalam jangka panjang. Hal ini dapat berarti bahwa pendapatan pajak merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembiayaan Pemerintah khususnya untuk pembangunan. Koefisien error correction untuk output (negatif dan signifikan yang mengindikasikan adanya penyesuaian terhadap kestidakstabilan yang terjadi dalam jangka pendek.

7. PEMBAHASAN

Hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan output sejalan dengan teori dan beberapa studi empiris. Berdasarkan teori Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi oleh rumah tangga.

Dalam SOFIE, kenaikan pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi, sebesar Rp10 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,3%. Sementara penambahan pengeluaran pemerintah untuk program infrastruktur sebesar Rp10,8 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0,0512% di model SEMAR. Perbedaan pengaruh tersebut mungkin disebabkan oleh sifat kedua model tersebut yang berbeda, yaitu SOFIE yang bersifat dinamis, sementara SEMAR lebih bersifat statis.

Lebih dominannya pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap PDB dibandingkan dengan pengaruh pajak dalam jangka pendek menunjukkan masih cukup efektifnya kebijakan ini untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi khususnya dalam masa resesi.

8. KESIMPULAN

a) DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP OUTPUT DAN INFLASI

Pertama, shock kenaikan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB sementara shock kenaikan pajak berdampak menurunkan PDB. Dampak positif dari pengeluaran pemerintah dan dampak negatif dari pajak terhadap PDB tersebut sejalan dengan teori Keynes tentang peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian serta sesuai dengan penelitian empiris di beberapa negara maju.

Kedua, lebih dominannya pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap PDB dibandingkan dengan pajak menunjukkan masih cukup efektifnya kebijakan ini untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi khususnya dalam masa resesi dibandingkan dengan pajak.

Ketiga, dampak shock pada pengeluaran pemerintah terhadap penurunan inflasi kemungkinan dapat dijelaskan oleh dampak multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk investasi (diantaranya infrastruktur) yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur diperkirakan dapat memperbaiki distribusi barang dan jasa sehingga berkontribusi terhadap penurunan inflasi.

Keempat, dampak kenaikan inflasi akibat shock peningkatan pajak kemungkinan dipicu oleh peningkatan pajak yang dipandang sebagai peningkatan biaya produksi dan biaya penjualan kepada konsumen.

b) RENCANA DAN REALISASI PENGELUARAN PEMERINTAH

Pertama, Sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/98, deviasi pengeluaran pemerintah terhadap rencana, relatif lebih kecil dibandingkan dengan periode pascakrisis. Setelah periode tersebut, deviasi menjadi lebih besar yang antara lain diduga karena perekonomian Indonesia lebih terintegrasi dengan perekonomian global, sehingga mempengaruhi realisasi pengeluaran pemerintah.

Kedua, deviasi sepanjang kurun waktu periode sampel (1990-2009) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sepanjang periode tersebut tidak terdapat diskresi kebijakan fiskal.

BAGIAN II

PENDAPAT TERHADAP ARTIKEL

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah dalam instrument berupa penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berlangsung selama periode tahunan.

Seperti menurut Sadono Sukirno (2003) kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.

Namun demikian, menurut Tulus TH Tambunan, secara khusus kebijakan fiskal memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit APBN dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Lalu prioritas kedua adalah untuk mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.

Sedangkan menurut Nopirin, Ph.D. (1987) kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indikator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak.

Berdasarkan dari tiga pendapat pakar diatas, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.

Namun pada tahap implementasinya, kebijakan fiskal akan selalu melahirkan dampak pada perekonomian negara secara makro, artinya turut mempengaruhi output dan inflasi yang secara khusus merupakan ranah kebijakan moneter dengan leading sector pada Bank Indonesia yang bersifat independen (bebas dari campur tangan pemerintah). Hal itu dikarenakan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan dua produk kebijakan ekonomi yang akan selalu menghadapi permasalahan ekonomi yang serupa di masyarakat.

Melalui penelitian berjudul Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Output dan Inflasi ini, peneliti menemukan adanya dampak diskresi kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi menggunakan model Vector Error Correction Model (VECM) yang diaplikasikan atas data triwulanan, mencakup periode 1990 – 2009. Hasil penelitian yang dijelaskan oleh penelitipun mengarah pada hasil teknik estimasi dan fakta empiris di Indonesia. Sehingga penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi para pengambil kebijakan pada kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Pada kebijakan fiskal, penelitian ini berguna untuk menguatkan tujuan aslinya yaitu pertama untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalannya memperkecil pengeluaran konsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).

Tujuan kedua adalah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga, implementasinya untuk menggerakkan pos penerimaan dan pengeluaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleknya struktur ekonomi perdagangan dan keuangan. Maka semakin rumit pula cara penanggulangan inflasi. Beragam kombinasi harus digunakan secara tepat seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, perdagangan dan penentuan harga (5).

Ketiga, kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan sebagai berikut:

a. Untuk meningkatkan laju investasi

Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan dan memacu laju investasi disektor swasta dan sektor negara. Selain itu, kebijakan fiskal juga dapat dipergunakan untuk mendorong dan menghambat bentuk investasi tertuntu. Dalam rangka itu pemerintah harus menerapkan kebijaan investasi berencana di sektor publik, namun pada kenyataannya dibeberapa Negara berkembang dan tertinggal terjadi suatu problem yaitu dimana langkanya tabungan sukarela, tingkat konsumsi yang tinggi dan terjadi investasi dijalur yang tidak produktif dari masyarakat dinegara tersbut. Hal ini disebabkan tidak tersedianya modal asing yang cukup, baik swasta maupun pemerintah. Oleh karena itu kebijakan fiskal memberikan solusi yaitu kebijakan fiskal dapat meningkatkan rasio tabungan inkremental yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan, memacu, mendorong dan menghambat laju investasi. Menurut Dr. R. N. Tripathy terdapat 6 metode yang diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menaikkan rasio tabungan incremental bagi mobilisasi volume keuangan pembangunan yang diperlukan diantaranya; control fisik langsung, peningkatan tariff pajak yang ada,penerapan pajak baru, surplus dari perusahaan negara, pinjaman pemerintah yang tidak bersifat inflationer dan keuangan defisit.

b. Untuk mendorong investasi optimal secara sosial

Kebijakan fiskal bertujuan untuk mendorong investasi optimal secara sosial, dikarenakan investasi jenis ini memerlukan dana yang besar dan cepat yang menjadi tangunggan Negara secara  serentak berupaya memacu laju pembentukkan modal. Nantinya invesati optimal secara sosial bermanfaat dalam pembentukkan pasar yang lebih luas, peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya produksi.

c. Untuk meningkatkan kesempatan kerja

Untuk merealisasikan tujuan ini, kebijakan fiskal berperan dalam hal pengelolan pengeluaran seperti dengan membentuk anggaran belanja untuk mendirikan  perusahaan Negara dan mendorong perusahaan swasta melalui pemberian subsidi, keringanan dan lain-lainnya sehingga dari pengupayaan langkah ini tercipta tambahan lapangan pekerjaan. Namun, langkah ini harus juga diiringi dengan pelaksanaan program pengendalian jumlah penduduk.

d. Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional

Kebijaksanaan fiskal memegang peranan kunci dalam mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal. Dalam rangka mengurangi dampak internasional fluktuasi siklis pada masa boom, harus diterapkan pajak ekspor dan impor. Pajak ekspor dapat menyedot rejeki nomplok yang timbul dari kenaikkan harga pasar. Sedangkan bea impor yang tinggi pada impor barang konsumsi dan barang mewah juga perlu untuk menghambat penggunaan daya beli tambahan.

e. Untuk menanggulangi inflasi

Kebijakan fiskal bertujuan untuk menanggulangi inflasi salah satunya adalah dengan cara penetapan pajak langsung progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi, karena pajak seperti ini cendrung menyedot sebagian besar tambahan pendapatan uang yang tercipta dalam proses inflasi.

f. Untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional

Kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan nasional terdiri dari upaya meningkatkan pendapatan nyata masyarakat dan mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi, upaya ini dapat tercipta apabila adanya investasi dari pemerintah seperti pelancaran program pembangunan regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian.

Sedangkan pada kebijakan moneter, penelitian ini dapat menguatkan tujuan aslinya berupa Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.  Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

BAGIAN III

IDE UNTUK PENGEMBANGAN ARTIKEL

Pendapat penulis mengenai ide pengembangan artikel sebagai penelitian yang baru adalah tentang analisis pengaruh kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap kebijakan fiskal APBN/D. Hasil penelitian terhadap hal itu berguna untuk memprediksi kerangka makro ekonomi tahunan yang disusun oleh Kementerian Keuangan.

Footnote:

(1) “The Effectiveness of Fiskal Policy in Stimulating Economic Activity-A Review of the Literature”, Hemming, Richard, et. al. , IMF Working Paper WP/02/208.
(2) “Siklikalitas Kebijakan Fiskal di Indonesia”, Catatan Riset No.11/15/DKM/BRE/CR.
(3) Alesina dan Tabellini (2005), “Why is Fiskal Policy Often Procyclical?”, NBER WP 11600, hal. 2.
(4) SOFIE dan SEMAR merupakan model makro yang dikembangkan secara internal di Bank Indonesia. Model ini belum memasukkan variabel pajak dalam permodelannya. SOFIE merupakan model makro ekonometri, sedangkan SEMAR merupakan model Computable General Equilibrium dengan menggunakan Tabel Input Output 2005.
(5) Pratama rahardja dan mandala manurung, Teori Ekonomi Makro dan Suatu Pengantar edisi 3, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005

***
(*) Saat artikel ini ditulis pada bulan Oktober 2016, penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis 4 buku pengembangan diri/motivasi, 3 seri novel misteri berjudul 'Keepo' dan mahasiswa magister manajemen keuangan negara pada STIA-LAN Jakarta.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
“Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa”
Critical Review Penelitian Berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi Critical Review Penelitian Berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi Reviewed by Santana Primaraya on 8:45:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.